
Foto : Istimewa
Sidoarjo•SGB-News.id– Polemik di tubuh Polresta Sidoarjo semakin panas. Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasat Narkoba) Polresta Sidoarjo, Kompol Riki Donaire Piliang, akhirnya angkat bicara setelah sempat bungkam dan melempar klarifikasi ke bawahannya. Namun bukannya meredam, pernyataan yang ia sampaikan justru menyalakan bara baru di tengah publik.
Kompol Riki mengakui dirinya memang mengunggah surat Laporan Polisi (LP) kasus narkoba ke status WhatsApp pribadinya. Dengan enteng, ia beralasan hal itu murni tidak disengaja.
“Saya baru sadar setelah diingatkan rekan wartawan kalau surat Laporan Polisi kasus narkoba yang akan saya kirimkan ke anggota, ternyata tidak sengaja terupload menjadi status WA,” ujar Kompol Riki melalui pernyataan yang disampaikan AKP Laila.
Alih-alih jujur mengakui kesalahan, alasan “tidak sengaja” justru semakin menelanjangi ketidakprofesionalan seorang perwira polisi. Publik menilai, pernyataan itu bukan bentuk tanggung jawab, melainkan upaya membela diri dengan mencari pembenaran semu. Logikanya sederhana: jika benar-benar tidak sengaja, mustahil ada keterangan tambahan yang ikut terunggah dalam foto story tersebut. Fakta ini membuat dalih sang Kasat Narkoba semakin sulit dipercaya.
Dalih tersebut pun kian memperkuat kritik publik. Bagaimana mungkin seorang pejabat yang seharusnya menjaga kerahasiaan dokumen negara bisa begitu ceroboh, lalu menutupi kelalaiannya dengan alasan rapuh? Kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum pun semakin dipertaruhkan.
Lebih jauh, isu lain yang jauh lebih serius mulai menyeruak: dugaan adanya aliran dana berupa bukti transfer yang diduga berkaitan dengan Kompol Riki. Dugaan itu memperkuat kecurigaan bahwa kasus ini bukan sekadar “kelalaian teknis”, melainkan bisa menyentuh persoalan integritas dan potensi penyalahgunaan wewenang.
Sikap tertutup sang perwira juga memantik kemarahan jurnalis. Pemimpin Redaksi Datacyber.id, yang mencoba meminta konfirmasi langsung lewat nomor pribadi Kompol Riki, menyebut tindakan bungkam itu sebagai penghinaan terhadap prinsip transparansi.
“Ini jelas merusak kredibilitas Polri. Publik butuh jawaban tegas, bukan alasan klise ‘tidak sengaja’,” tegasnya.
Akibat kekecewaan yang kian meluas, sejumlah media sepakat melaporkan kasus ini ke Bidang Propam Polda Jatim. Mereka mendesak proses hukum internal yang terbuka dan objektif, agar spekulasi liar tidak semakin mencederai kepercayaan masyarakat.
Pemerhati hukum di Jawa Timur pun angkat suara keras.
“Dalih tidak sengaja terlalu lemah. Yang dipertaruhkan bukan hanya nama pribadi, tetapi kredibilitas Polri di mata rakyat. Apalagi ada indikasi transaksi keuangan yang patut diselidiki. Jika Polri diam, citra institusi bisa hancur total,” ujar seorang akademisi hukum di Surabaya.
Hingga kini, Polresta Sidoarjo maupun Polda Jatim belum memberikan keterangan resmi tambahan. Publik menanti: apakah Polri berani membersihkan institusinya dengan langkah tegas, atau memilih membiarkan kasus ini membusuk dan menjadi simbol lemahnya integritas aparat hukum.
Satu hal pasti: kasus Kompol Riki bukan lagi sekadar persoalan individu, tetapi ujian serius bagi komitmen Polri dalam menjaga marwah institusi dan kepercayaan masyarakat.
Tim-Redaksi