
Probolinggo°Sgb-News.id — Dunia pers seharusnya lahir dari jiwa-jiwa kritis, bukan dari tangan penulis yang hanya pandai merangkai kata tanpa memahami makna perjuangan di balik kebenaran. Semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menegaskan bahwa fungsi pers bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi juga sebagai alat kontrol sosial yang bebas dari tekanan dan kepentingan politik mana pun.
Dalam konteks demokrasi saat ini, kebebasan pers sering kali diartikan secara keliru. Banyak media dan insan pers justru terjebak dalam zona nyaman, kehilangan idealisme, dan lebih sibuk mengejar popularitas atau keuntungan finansial daripada membela kepentingan publik. Padahal, semangat UU Pers 1999 jelas: jurnalis wajib berpihak pada kebenaran dan kepentingan masyarakat.
“Pers tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau tekanan. Wartawan sejati bukan hanya menulis, tapi berani mengungkap fakta meskipun melawan arus,” ujar salah satu pemerhati media dari Aliansi Madura Indonesia, Dierel, saat dimintai tanggapan, Selasa (21/10/2025).
Ia menegaskan bahwa kemunduran moral pers terjadi ketika media mulai diperalat untuk menutupi kebusukan. Banyak kasus dugaan korupsi, penyimpangan anggaran, dan pelanggaran hukum yang tidak tersentuh karena sebagian insan pers kehilangan keberaniannya.
“Kalau jurnalis hanya menulis berdasarkan permintaan narasumber, itu bukan lagi pers, tapi iklan berbungkus berita. Jurnalisme harus berdiri di atas nurani, bukan di bawah meja kekuasaan,” tambah Dierel.
UU Nomor 40 Tahun 1999 menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi yang bebas dan independen. Namun kebebasan tersebut juga menuntut tanggung jawab. Jurnalis tidak hanya dituntut menulis, tetapi juga memverifikasi, menganalisis, dan menggali kebenaran dengan hati nurani yang bersih.
Saat ini, kepercayaan publik terhadap media terus menurun. Banyak masyarakat mulai skeptis terhadap pemberitaan yang dianggap tidak objektif. Kondisi ini menjadi alarm keras bagi seluruh insan pers agar kembali pada jati diri: menjadi suara rakyat, bukan corong kekuasaan.
“Pers harus kembali berjiwa kritis. Karena dari situlah lahir peradaban dan keadilan. Jika pers kehilangan keberanian, maka demokrasi tinggal nama,” pungkas Dierel.
Tim-Redaksi