MALANG – SGB-News.id
Penyaluran pupuk bersubsidi di Desa Sukodono, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, diselimuti dugaan kuat praktik curang dan permainan kotor oknum di lapangan. Sejumlah petani menuding, mekanisme baru yang diatur dalam Permentan Nomor 15 Tahun 2025 justru dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk memperkaya diri, sementara petani kecil semakin terjepit oleh aturan yang rumit.
Berdasarkan laporan yang diterima redaksi, banyak petani di Sukodono mengeluhkan kesulitan membeli pupuk subsidi. Bahkan, sejumlah petani mengaku hanya bisa mendapatkan pupuk jika hasil panennya dijual ke agen tertentu.
“Kalau tidak jual ke kios atau agen yang sama, kami tidak dikasih pupuk. Katanya itu aturan baru, padahal kami sudah bertahun-tahun jadi petani,” keluh salah seorang petani, Sabtu (25/10/2025).
Selain itu, syarat untuk masuk dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) juga disebut sangat rumit dan tidak transparan. Banyak petani yang tidak tahu prosedur pengajuan karena tidak pernah mendapat pendampingan langsung dari penyuluh pertanian. “Kami tidak paham administrasi. Dulu penyuluh datang menjelaskan, sekarang hanya ketua kelompok yang urus. Kami petani kecil tidak dianggap,” ujar petani lain dengan nada kecewa.
Saat dikonfirmasi, Prihantono, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) wilayah Dampit, membenarkan bahwa proses penyaluran pupuk bersubsidi kini mengacu pada regulasi baru.
“Ketua kelompok yang sudah mengurus anggotanya dan melengkapi syarat-syaratnya sudah bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Dari sembilan kelompok tani, empat sudah mengajukan dan mendapat pupuk. Petani yang sudah memenuhi syarat sudah tercantum di RDKK 2026,” jelasnya melalui pesan WhatsApp, sembari mengirimkan dokumen Permentan Nomor 15 Tahun 2025.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah memang menegaskan bahwa pupuk bersubsidi hanya diberikan kepada petani yang terdaftar di RDKK dan sesuai ketentuan lahan serta komoditas yang diatur. Namun, pasal ini justru menjadi celah yang rawan dimainkan oleh oknum kelompok tani atau aparat lapangan yang memiliki akses terhadap sistem data pertanian.
Salah satu lembaga pengawas anti-korupsi yang ikut memantau persoalan ini menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi besar disalahgunakan.
“Apakah Menteri Pertanian sengaja memperketat aturan hingga menyulitkan petani, atau justru ada oknum yang memanfaatkan celah hukum untuk keuntungan pribadi? Kami akan segera melayangkan surat resmi kepada Kementerian Pertanian agar melakukan sidak langsung ke Sukodono,” tegas perwakilan lembaga tersebut.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa program pupuk bersubsidi yang seharusnya menjadi instrumen keadilan ekonomi bagi petani kecil, kini justru berubah menjadi arena balapan bagi para “koruptor lokal” yang lihai memanipulasi sistem.
Jika tak segera diawasi dan diperbaiki, kebijakan ini berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menegakkan keadilan di sektor pertanian.
—
Reporter: Tim Investigasi SGB-News
Editor: Dierel – Koordinator Aksi Aliansi Madura Indonesia