
SURABAYA ,- Sgb.newsDidi Sungkono mengatakan, “Pemerasan oleh oknum polisi dilarang keras dan merupakan tindak pidana.
Perbuatan ini bertentangan dengan sumpah, kode etik, dan hukum yang mengikat anggota Polri.
Sanksi hukum pidana
Anggota kepolisian yang terbukti melakukan pemerasan akan dijerat dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Selain hukuman pidana, oknum polisi juga bisa dikenakan sanksi internal Polri berupa:
1. Hukuman disiplin: Meliputi teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji atau pangkat, mutasi yang bersifat demosi, hingga penempatan di tempat khusus.
2. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH): Hukuman terberat berupa pemecatan dari institusi kepolisian, terutama jika pelanggarannya dianggap berat atau merusak citra Polri secara signifikan.
Upaya untuk mengatasi pemerasan oleh oknum polisi, masyarakat harus berani lapor dan menyiapkan bukti-bukti konkret serta otentik.
Informasi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan bahwa pemerasan oleh oknum polisi sering terjadi karena penyalahgunaan celah kewenangan. Oleh karena itu, pengawasan internal dan eksternal perlu diperkuat.
Masyarakat harus berani melaporkan oknum polisi yang melakukan pemerasan kepada pihak berwenang, seperti PROPAM Polri atau lembaga pengawas lainnya. Laporan ini penting untuk memberikan efek jera dan membersihkan institusi dari oknum-oknum yang merugikan RAKYAT.
Aparat penegak hukum (PROPAM) harus menindak tegas oknum polisi yang terlibat pemerasan. Proses hukum pidana perlu dilakukan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat.
Sikap tegas terhadap oknum polisi yang memeras sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik, rakyat, dan masyarakat, serta menjunjung tinggi institusi Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Berita Patroli – Surabaya
Kekuatan POLISI adalah kepercayaan rakyat. Rasa simpatik dari rakyat akan diperoleh jika polisi mampu mencerminkan diri sebagai penjaga kehidupan, melayani masyarakat tanpa pamrih, ikhlas dalam bertindak.
Polri adalah sebuah profesi yang terhormat. Tatkala Polri tidak dipercaya oleh rakyat karena ulah segelintir oknum-oknum, maka keberadaannya bagaikan telur di ujung tanduk.
Polisi harus memanusiakan manusia, baik dalam penangkapan maupun pelayanan. Semua harus sejalan dengan “amanah” Undang-Undang No. 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
Makna menjadi polisi yang profesional sebagaimana mandat dari undang-undang bersifat luas. Implementasinya berdasarkan kompetensi pengembangan ilmu kepolisian berlandaskan kejujuran dan jauh dari sifat hidup “HEDON” atau bermewah-mewahan, yang justru akan “memantik” amarah rakyat.
Masyarakat sekarang sudah semakin cerdas dan kritis. Masyarakat modern yang paham hukum, paham negara demokrasi, akan semakin “berani mengkritik keras” kepolisian.
Tugas polisi tertulis sangat singkat, to serve and to protect (melayani dan melindungi). Polisi ada karena negara ada, negara ada karena ada rakyat. Polisi digaji negara dari uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak rakyat, dianggarkan melalui DIPA (Daftar Isian Pengajuan Anggaran). Jelas, salah satu tugas pokok kepolisian adalah menjaga dan melindungi rakyat, bukan MEMERAS rakyat dengan dalih penegakan hukum.
Rakyat jangan dijadikan obyek “sapi perahan”. Tidak jarang ada perilaku oknum yang menyimpang dalam penegakan hukum. Salah satu contohnya, “jual belikan” pasal dan undang-undang. Ada yang ditangkap, dituduh terlibat bermain JUDOL (judi online), setelah diminta uang tebusan puluhan juta, pelaku dilepaskan. Ini fenomena bagaikan gunung es yang harus ditindaklanjuti oleh petinggi-petinggi kepolisian atas perilaku oknum-oknum POLRI yang bermental kurang baik.
POLRI harus punya rasa kepedulian dan empati terhadap masyarakat, bukan hanya lips service. Salah satu tugas POLRI adalah mengangkat harkat martabat manusia, memajukan, menyadarkan, mengedukasi, melayani, menolong, menyembatani masyarakat, memberikan pengayoman terbaik kepada masyarakat secara ikhlas — bukan malah bertindak sebagai PROVOKATOR.
Karena ada laporan masyarakat kepada penulis, antara pelapor dan terlapor sudah sepakat damai, tidak ingin meneruskan perkara hingga ke persidangan. Namun oleh penyidik justru pelapor diintervensi, diintimidasi agar tidak boleh mencabut laporan polisi dan perkara tetap diteruskan hingga ke pengadilan. (Ini terjadi di salah satu POLSEK wilayah Kota Surabaya, Jawa Timur).
Lantas, di mana kepekaan dan kepedulian terhadap masyarakat? Peka dan peduli adalah karakter unggul yang dasarnya adalah edukasi. Prinsip edukasi itu tidak hanya mengajarkan, tapi juga menyadarkan. Keadilan tidak harus didapat di pengadilan, tapi keadilan bisa didapat di mana saja, karena ilmu hukum itu terus dan harus mengikuti perkembangan zaman.
Polri harus punya rasa kepedulian kepada masyarakat, kepada rakyat. Sikap empati itu karena kesadaran dan tanggung jawab. Reformasi POLRI bukan dari bawah, reformasi dan transformasi POLRI dari atas ke bawah, dari jenderal-jenderal Polri, perumus dan pemutus. Pimpinan Polri di atas harus lebih peka dan bisa menciptakan sistem-sistem yang kreatif, inovatif, dinamis.
Pengawasan sistem transparansi dan inovasi harus selalu diawasi, dikontrol, karena tidak jarang kewenangan rawan disalahgunakan. Kewenangan tanpa pengawasan dan pembatasan tidak jarang akan menimbulkan tumbuh suburnya KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Tidak jarang masyarakat ditangkap, “dituduh melakukan kegiatan JUDOL”, diperas dan dilepas. Ini harus segera diakhiri.
Kelakuan oknum-oknum yang tidak bermoral justru akan merugikan POLRI sendiri ke depannya. Menakut-nakuti rakyat dengan ancaman hukuman UU ITE, memeras rakyat puluhan juta, akan mengakibatkan rakyat semakin membenci Kepolisian.
Oknum polisi yang tidak beretika dan tidak ada tindakan dari institusi akan merugikan kepolisian sendiri. Kalau boleh “jujur” sejujur-jujurnya, kita adakan polling kepada masyarakat netral: dari 1000 masyarakat, berapa persen yang percaya terhadap kepolisian?
Kalau komitmen sudah tergerus, etika hukum sudah jauh dari frasa kebenaran, KUHAP diartikan “Kasih Uang Habis Perkara” atau “Kurang Uang Harus Penjara”, maka semakin ke depan semakin tidak akan baik kepercayaan publik, kepercayaan rakyat terhadap kepolisian.
Etika publik dan norma moral harus menjadi tindakan nyata dalam penegakan hukum. Hormati UUD 1945, aplikasikan UU No. 08 Tahun 1981 Tentang KUHAP, aplikasikan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Hak Asasi Manusia).
Terapkan Rastra Sewakottama, jalankan Tribrata. Sudah saatnya POLRI berubah, berbenah. Polri sebagai institusi yang jauh dari KKN harus menjadi contoh bagi institusi dan instansi lain. POLRI sebagai institusi yang humanis, pelindung, pengayom, pelayan rakyat, dan juga penegak hukum berkeadilan secara beradab dan bermartabat.
Didi Sungkono adalah wartawan, kolumnis, dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Rastra Justitia.
tim-Redaksi