
Sgb-News √ Lumajang – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia di Kabupaten Lumajang tahun ini menyisakan potret ironi. Di satu sisi, rakyat kecil tengah dihantui keresahan akibat maraknya kasus pencurian motor dan harga kebutuhan pokok yang kian melambung. Namun di sisi lain, sejumlah anggota DPRD Lumajang justru tampak sibuk berjoget ria dalam panggung perayaan.
Pemandangan itu memunculkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Bukannya menunjukkan empati terhadap penderitaan rakyat, aksi joget para wakil rakyat tersebut justru dinilai hanya mempertontonkan euforia tanpa makna.
“Entah mereka sedang merayakan kemerdekaan bangsa, atau sekadar kemerdekaan dari rasa empati,” sindir Dierel, aktivis Aliansi Madura Indonesia (AMI) Lumajang, Senin (18/8/2025).
Kenyataan di lapangan menunjukkan kehidupan masyarakat semakin sulit. Aksi pencurian kendaraan bermotor kian marak, menambah keresahan warga yang menggantungkan mobilitas sehari-hari pada motor.
Tak berhenti di situ, harga kebutuhan pokok—mulai dari beras, gula, hingga minyak goreng—mengalami lonjakan tajam dalam beberapa pekan terakhir. Kondisi ini membuat perut rakyat semakin perih, terutama kalangan buruh, petani, dan pedagang kecil yang penghasilannya pas-pasan.
Di tengah situasi tersebut, publik tentu berharap kehadiran wakil rakyat yang mampu memberi solusi konkret. Namun yang tampak justru sebaliknya.
“Jogetnya lincah, senyumnya lebar—seakan lupa kalau rakyat yang memilih mereka sedang terseok-seok. Rakyat berkeringat mempertahankan nafkah, sementara dewan berkeringat hanya karena berjoget,” tegas Dierel.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, peringatan HUT RI seharusnya dijadikan momentum refleksi atas perjuangan bangsa sekaligus koreksi terhadap kondisi sosial yang dihadapi rakyat saat ini.
“Bukannya kami anti hiburan, tapi apakah pantas ketika rakyat menangis, wakilnya justru menari? Seharusnya perayaan itu diisi dengan kegiatan yang membumi, misalnya dialog publik, bakti sosial, atau program nyata untuk meringankan beban masyarakat,” ujar salah seorang warga Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono.
Ia menilai, pesta dan panggung hiburan memang bisa menjadi bagian dari perayaan. Namun ketika ditampilkan secara berlebihan, apalagi oleh pejabat publik, maka hal itu akan melukai rasa keadilan rakyat.
Fenomena joget massal anggota DPRD Lumajang ini dinilai menggambarkan jurang pemisah antara rakyat dan elit politik. Para wakil rakyat yang semestinya menjadi penyambung lidah masyarakat, justru seakan sibuk dalam dunianya sendiri.
“Ini semacam simbol betapa empati itu sudah mulai langka. Mereka mungkin lupa, kemerdekaan bangsa ini tidak lahir dari pesta pora, tapi dari cucuran keringat dan darah rakyat,” lanjut Dierel dengan nada kecewa.
Aktivis itu mendesak agar DPRD segera kembali fokus pada tugas utama: memperjuangkan kepentingan masyarakat.
“Kami tidak melarang mereka bergembira, tapi bergembiralah dengan cara yang bermartabat. Jangan sampai rakyat yang sedang kesulitan merasa dikhianati,” tambahnya.
Meski banyak kekecewaan, warga Lumajang tetap berharap momen HUT ke-80 bisa menjadi titik balik. Rakyat menantikan pemimpin yang benar-benar hadir dan peka terhadap penderitaan masyarakat.
“Kami butuh solusi, bukan sekadar tontonan. Kalau benar-benar peduli, mari turun ke bawah, dengarkan keluhan rakyat, dan carikan jalan keluar. Itu jauh lebih bermakna daripada joget di panggung,” kata seorang pedagang di Pasar Baru Lumajang.
Masyarakat berharap agar DPRD Lumajang segera menyadari bahwa mandat yang mereka emban bukan untuk kepentingan pribadi atau sekadar seremonial, melainkan amanah rakyat.
Akhirnya, peringatan HUT RI ke-80 di Lumajang justru tercoreng oleh potret ironi. Ketika rakyat terhimpit, para wakil rakyat malah sibuk berjoget.
Sebuah kenyataan pahit yang seharusnya menjadi tamparan keras bagi setiap pemegang jabatan publik. Sebab kemerdekaan sejati bukan sekadar dirayakan dengan pesta, melainkan diwujudkan dengan keberpihakan nyata pada rakyat.
Penulis : Tim-Redaksi